Pematangsiantar, bnfnews.com -- Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Masyarakat Peduli Indonesia Baru (DPP KOMPI B) menyoroti konferensi pers pengungkapan kasus peredaran narkoba dan minuman keras (miras) ilegal yang digelar oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) pada Jumat sore, 2 Mei 2025, pukul 15.00 WIB. Ada beberapa kejanggalan pada acara yang berlangsung di halaman depan Sat Narkoba Polres Pematangsiantar dan dipimpin langsung oleh Dirresnarkoba Polda Sumut, Kombes Pol Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.
Konferensi pers ini dihadiri sejumlah pejabat penting ini, termasuk Kapolres Simalungun AKBP Marganda Aritonang, S.H., S.I.K., M.M, Kasubbid Penmas Bid Humas Polda Sumut Kompol Siti Rohani, Sekda Kota Pematangsiantar Junaedi Antonius Sitanggang, SSTP, M.Si, Kadis Pariwisata Kota Pematangsiantar Hammam Sholeh, A.P., serta perwakilan dari Bea Cukai Pematangsiantar, Enriko.
Dalam pemaparannya, Kombes Jean Calvijn menyampaikan bahwa pemberantasan narkotika merupakan bagian dari program prioritas nasional "Asta Cita" yang saat ini diadopsi secara sistematis oleh Polri. Ia menegaskan bahwa Kapolda Sumut telah menginstruksikan penegakan hukum terhadap narkotika dilakukan secara menyeluruh “from upstream to downstream”, dan harus tetap berada "on the track".
“Sejak 1 Januari hingga hari ini, total 101 kasus berhasil diungkap berkat kolaborasi Polda Sumut dengan jajaran Polres Simalungun dan Polres Pematangsiantar. Dari pengungkapan itu, sebanyak 159 tersangka telah diamankan dan tengah diproses hukum,” ungkap Calvijn.
Salah satu pengungkapan yang menjadi perhatian adalah terungkapnya peredaran ekstasi di sebuah tempat hiburan malam ternama di Pematangsiantar, yakni Studio 21. Dalam operasi tersebut, pihak kepolisian menangkap tersangka RS dengan barang bukti 97 butir ekstasi. Dari keterangan RS, diketahui bahwa narkotika tersebut berasal dari tersangka JS dan GP, yang disebut-sebut memiliki jabatan penting dalam manajemen tempat hiburan itu.
“JS adalah manajer dari Studio 21. Saat penangkapan, kami juga menyita uang hasil penjualan ekstasi sebesar Rp9 juta, yang telah diserahkan kepada JS dan akan dilanjutkan kepada GP,” kata Calvijn.
Namun, konferensi pers yang semestinya menjadi momentum transparansi dan akuntabilitas itu justru menuai kritik keras dari Ketua DPP Komunitas Masyarakat Peduli Indonesia Baru (KOMPI B), Henderson Silalahi. Ia menyatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat masih setengah hati dan cenderung tidak transparan. Terbukti saat dirinya ingin bertanya tidak diberikan kesempatan dan sudah seperti diatur sehingga beberapa hal kejanggalan dari penanganan kasus Studio 21 ini tidak bisa disampaikan didepan para insan pers.
“Dalam rilis resmi, tidak disebutkan secara jelas nama-nama tersangka, jumlah barang bukti, serta ancaman hukuman masing-masing pelaku. Khususnya dalam kasus Studio 21, meskipun dikabarkan ada 7 tersangka, namun hingga kini belum ada keterangan rinci peran-peran mereka,” tegas Henderson.
"Kita masih penasaran oknum berinisial CP yang dalam video penangkapan lompat ke danau mengapa hanya di rehab, kami menduga CP adalah bagian dari sindikat narkoba, masa iya anggota sindikat hanya di rehab, inikan lucu," jelasnya.
Ia juga mengkritik keras mengapa pemilik Studio 21 mengapa tidak ikut diamankan, meskipun tempat tersebut digunakan sebagai lokasi peredaran narkoba. “Mengapa pemasok ekstasi tidak ditangkap? Kenapa penyedia minuman keras ilegal dibiarkan? Bahkan dugaan penggunaan anak di bawah umur sebagai LC juga belum diungkap secara serius dan siapa yang menyediakannya,” tambahnya.
Henderson menuding bahwa ada indikasi permainan hukum dalam kasus ini, apalagi dengan adanya perlakuan rehabilitasi terhadap salah satu pelaku, padahal jelas mereka adalah bagian dari sindikat. “Jangan ada tangkap lepas, jangan ada istilah direhabilitasi untuk sindikat. Penegakan hukum harus tegas, hukum seberat-beratnya bila perlu hukuman mati!” tegasnya lagi.
Selain mengecam pihak kepolisian, Henderson juga meminta Bea Cukai agar tidak bermain sandiwara dengan barang bukti. “Kalau sudah disita, kami minta jangan coba-coba dikembalikan secara diam-diam. Kalau perlu, musnahkan di hadapan media,” serunya.
Tak hanya itu, Pemko Pematangsiantar, Dinas Pariwisata, Dinas Perizinan, hingga Dinas PUTR juga turut mendapat sorotan. Henderson meminta agar Pemko segera membuat rekomendasi ke Dinas Pariwisata Sumut untuk mencabut izin operasional Studio 21, menutupnya secara permanen, dan memerintahkan Satpol PP untuk membongkar bangunan yang diduga melanggar garis sempadan sungai.
“Kami dari DPP KOMPI B akan terus mengawal ketat kasus ini. Kami akan mengirimkan surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, serta seluruh institusi terkait lainnya,” ungkap Henderson dengan nada tegas.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak ingin melihat penegakan hukum yang hanya tegas di permukaan namun lemah di akar. “Kami ingin semua pihak, dari pusat hingga daerah, dari aparat hingga pemangku kebijakan, benar-benar serius membongkar jaringan narkoba dan menindak semua pelaku tanpa tebang pilih,” pungkasnya.
Konferensi pers ini menandai babak baru dalam upaya pemberantasan narkoba di wilayah Sumatera Utara. Namun desakan dari masyarakat seperti yang dilontarkan DPP KOMPI B menjadi pengingat keras bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya bersifat seremonial — harus transparan, tegas, dan menyeluruh.(Tim/red)
0 Komentar