PERKUAT KEWENANGAN DAN PERAN KELEMBAGAAN, BNN BAHAS REVISI UU NARKOTIKA

PERKUAT KEWENANGAN DAN PERAN KELEMBAGAAN, BNN BAHAS REVISI UU NARKOTIKA


BNN menggelar Sarasehan Revisi Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika dengan mengusung tema "Urgensi Kelembagaan BNN dalam Perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika dan Psikotropika", di Ruang Moh. Hatta, Gedung Tan Satrisna BNN, Cawang, Jakarta Timur, pada Selasa (29/4).

Sarasehan ini menghadirkan beberapa narasumber yang ahli di bidangnya, di antaranya Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D., selaku Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, DR. Roberia, S.H., M.H. selaku Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum, serta Agus Irianto, S.H., M.Si., M.H., Ph.D., selaku Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN RI.

Kepala BNN RI, Drs. Marthinus Hukom, S.I.K., M.Si., dalam sambutannya memandang penting suatu lembaga pada Undang-Undang (UU) dalam hubungannya dengan penegakan hukum beserta kewenangannya, maka dalam revisi UU tersebut harus secara jelas menyatakan lembaga yang akan melaksanakan kewenangan tersebut.

"Tapi ketika Kita berbicara dalam aspek penegakan hukum maka segala sesuatu itu harus menjadi jelas. Jadi, Saya meminta para hadirin, para pejabat harus mampu berinteraksi untuk membentuk suatu argumen yang kuat bahwa dalam revisi UU ini penjelasan tentang nama kelembagaan itu menjadi sangat penting dan itu akan Kita minta dari para ahli," ujar Marthinus Hukom.

Senada dengan Kepala BNN RI, Deputi Hukum dan Kerja Sama BNN RI Agus Irianto mengatakan bahwa apa yang disampaikan Kepala BNN RI terkait kelembagaan di dalam revisi UU sangat mendesak. Jangan sampai terjadi degradasi kewenangan antara penegak hukum.

Revisi UU juga dilakukan agar tidak terjadi kekacauan hukum yang berjalan bersama-sama tetapi mempunyai spirit yang berbeda. Misalnya restorative justice dalam penegakan hukum adalah salah satu cara penegakan hukum yang disebut Out of Court Settlement atau penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan. Pada sisi lain yaitu pemidanaan, jika tidak segera dilakukan pemidanaan dikhawatirkan para bandar akan memilih penyelesaian perkara di luar persidangan karena ada dua aturan yang bertentangan.

Adapun beberapa poin pembahasan RUU Narkotika terkait UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang masih menjadi permasalahan, antara lain:
1.⁠ ⁠Adanya rumusan ketentuan pidana yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
2.⁠ ⁠Adanya perbedaan pengaturan kewenangan penyidik BNN dan penyidik POLRI sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika dan psikotropika.
3.⁠ ⁠Harta kekayaan/harta benda hasil tindak pidana narkotika belum maksimal digunakan untuk pelaksanaan kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika (P4GN) serta upaya rehabilitasi.
4.⁠ ⁠Ketidakjelasan pendefenisian pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika yang berdampak pada penanganan yang sama dengan bandar ataupun pengedar narkotika.
5.⁠ ⁠Diperlukan adanya standardisasi yang sama dan diterapkan ke seluruh lembaga rehabilitasi narkotika baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat.
6.⁠ ⁠Belum maksimalnya peran Tim Asesment Terpadu (TAT) untuk menganalisa tingkat kecanduan, model penanganan, dan tindakan yang harus dilakukan terhadap penyalahguna narkotika.

Dengan adanya kewenangan dan peran suatu lembaga di dalam undang-undang khususnya narkotika, maka peran suatu lembaga dalam upaya penegakan hukum menjadikan semakin jelas. (Tim/red) 

Posting Komentar

0 Komentar