Kades Padang Lancat Sisoma di Sorot Etika dan Transparansi, Pengusiran Sepihak Kepada Warga

Kades Padang Lancat Sisoma di Sorot Etika dan Transparansi, Pengusiran Sepihak Kepada Warga







TAPSEL | BNF. News – Pemerintah Desa Padang Lancat Sisoma, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, diduga melakukan pengusiran sepihak terhadap salah satu warganya, Candra Mendrofa. Tindakan tersebut menuai sorotan publik, terutama terkait etika kepemimpinan dan transparansi dalam pengambilan keputusan.


Peristiwa ini mencuat ke publik setelah beberapa media lokal menerima pengaduan dari Candra Mendrofa dan istrinya, Minta Ito, yang mengaku diusir tanpa proses hukum yang jelas. Mereka telah tinggal di desa itu selama 14 tahun, dan merasa hak mereka sebagai warga negara telah dilanggar.

Menurut pengakuan Candra, persoalan bermula dari konflik rumah tangga yang terjadi setelah dirinya diketahui berselingkuh. Kepala Desa Padang Lancat Sisoma, Marihot Anton Sihombing, kemudian memediasi permasalahan tersebut dan menyepakati bahwa jika Candra tidak bertanggung jawab, maka ia akan diminta meninggalkan desa. 


Setelah Candra menikah dengan perempuan yang diduga sebagai selingkuhannya, pemerintah desa mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan Candra beserta istri barunya, istri lamanya, dan seluruh anak-anak mereka meninggalkan desa.

Ketika dimintai konfirmasi pada Kamis (5/6/2025) sekitar pukul 15.40 WIB, awak media mengunjungi kantor desa setempat. Kepala Seksi Kesejahteraan dan Pelayanan, Hardin Tambunan, membenarkan adanya keputusan bersama terkait pengusiran keluarga tersebut. 

Namun, saat diminta menunjukkan dokumen kesepakatan atau dasar hukum yang menjadi landasan keputusan tersebut, Hardin enggan memberikan tanggapan yang jelas dan justru memanggil kepala desa.


Kehadiran Kepala Desa Marihot Anton Sihombing di kantor desa justru menambah kontroversi. Alih-alih memberi penjelasan secara terbuka, ia disebut-sebut bersikap arogan, tidak sopan kepada awak media, serta mengelak mengakui dirinya sebagai kepala desa. 

Ia bahkan menegur wartawan karena mengenakan sandal di dalam kantor, meski dirinya sendiri datang dengan kondisi basah dan berpakaian celana pendek.

"Ketika kami meminta penjelasan, yang bersangkutan malah mengaku sebagai tokoh masyarakat, bukan kepala desa. Padahal jelas-jelas fotonya terpampang sebagai kepala desa di papan struktur organisasi desa," ujar salah satu jurnalis yang berada di lokasi.


Tak hanya itu, keluarga Candra juga mengaku dipersulit dalam proses administrasi pindah domisili. Mereka diminta menyerahkan Kartu Keluarga (KK) untuk pengurusan surat pindah, namun proses tersebut berlangsung lama hingga anak-anak mereka kesulitan mengakses layanan pendidikan. Bahkan, mereka diminta membayar uang sebesar Rp250 ribu untuk proses tersebut.

Pihak keluarga berharap agar keputusan pengusiran dapat ditinjau ulang dan pemerintah desa bertindak lebih adil serta menjunjung tinggi hak-hak warga negara.


“Kami sudah tinggal di sini lebih dari satu dekade. Mengusir kami secara sepihak tanpa dasar hukum yang kuat sangat merugikan,” kata Candra.

Sementara itu, kalangan jurnalis yang mencoba mengonfirmasi persoalan ini menyesalkan sikap pemerintah desa yang dinilai tidak kooperatif dan terkesan menghalangi kerja jurnalistik. Padahal, dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Kami hanya ingin mendapatkan klarifikasi yang objektif dan berimbang. Bukan mencari musuh," kata salah seorang jurnalis.


Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut perlindungan terhadap warga negara serta kebebasan pers yang seharusnya dijamin oleh undang-undang. Pihak terkait di Kabupaten Tapanuli Selatan diharapkan dapat turun tangan mengevaluasi keputusan pemerintah desa dan menegakkan prinsip keadilan serta transparansi dalam pemerintahan.


(Yas)

Posting Komentar

0 Komentar